The Master Tennis

Assalamualaikum, haai! Kembali lagi di blogku! Kalian masih ingat blog ini kan? Blog ini cuma khusus untuk cerpen atau cerita pendek. Kalau mau adobe illustrator tinggal click link ini: Adobe Illustrator A.R.F (adobeillustratoraisyaraihana.blogspot.com), kalau mau baca blog cerpen, yah di sini: Cerpen A.R.F (cerpenaisyaraihana.blogspot.com). Okay, jadi aku mau buat cerita 'The Master Tennis'. Kalian penasaran dengan cerita ini? Baca sampai habis ya! Bismillah.


Pada suatu hari, di tempat les tennis, terlihat anak perempuan yang kira-kira berumur 14 tahun. Kemudian datang satu anak perempuan lagi, dia menghampiri anak perempuan yang terlihat tenang itu. "HAI, FARIZA!" sapanya. Anak perempuan yang di panggil Fariza menoleh lalu tersenyum, "Hai, Raixa, bisakah suaramu itu kau kecilkan? Berisik sekali." Fariza mencubit lengan Raixa, sahabatnya. Raixa mengaduh kesakitan, "Aduh...Kau ini maunya apa sih? Aku, kan cuma mau kasih tahu kabar baik." Tangan Raixa mengambang ke atas hendak mencubit bahu Fariza. Fariza tertawa lalu menghindar.

"Eeeeeh...Ada si galak. Apa kabar sekarang?" sapa seorang anak laki-laki yang sebaya dengan Fariza. Fariza pura-pura tidak mendengar, dia malah tetap berjalan lalu mengajak Raixa mengobrol. Anak laki-laki itu mendengus kesal, "WOI, DITANYAIN NGGAK DI JAWAB!!". Fariza berbalik berhadapan dengan si anak laki-laki itu. "Hai, Harif." Fariza menyapa. Sedang Raixa yang berdiri di sampingnya nyengir. "Mau kemana? Pulang? Kok nggak sama teman?" Fariza mulai iseng hendak membuat Harif tidak mengganggu lagi. 

"Gak ada teman ya? Kasihan banget." sindir Fariza, lalu dia memasang wajah kasihan. "Hei, Rif, kamu ikut lomba tennis, kan?" tanya Raixa. Harif menjawab dengan kasar, "Iyalah! Kamu ikut? Huft...Pasti sudah kalah." Harif memonyongkan bibir. "Belum tentu. Palingan kau yang kalah," balas Fariza, membela temannya. "Ah, sudahlah. Bosan sekali berurusan dengan si galak." Harif mulai hendak berjalan lagi. "Kalau memang sudah bosan, kenapa mengganggu? Aneh sekali." Fariza tertawa kecil.

"Sudah ah, yuk, Xa! Kita tinggalkan saja si sombong ini..." Fariza menarik-narik lengan sahabatnya. Raixa menurut. Tapi, langkah mereka terhenti saat terdengar bentakan Harif, "APA KATAMU, HAH?! SIAPA YANG SOMBONG?!". Fariza menoleh, terlihat seorang anak laki-laki di samping Harif. "Oi? Siapa tuh di sampingmu? Kakakmu, ya?" tanya Fariza tercengang. Raixa ikut menoleh. "Tadi kamu nanya, kan, siapa yang sombong?. Jawabannya simpel saja, yang sombong itu 'kamu'." Fariza mengangkat bahu. Matanya tajam memerhatikan gerak-gerik Harif. "Yang sombong kamu kali, Za! Awas, nanti ku suruh kakakku menghajar kamu! Mumpung lagi sepi!" ancam Harif. Raixa tercengang, Fariza, sahabatnya, hanya diam-diam saja? Sama sekali tidak takut?.

"Di dalam islam, kan, di bilangin nggak boleh menakut-nakuti orang, Rif." ucap Fariza santai. Tiba-tiba Harif menyerang, tangannya hendak memukul kepala Fariza. Fariza menghindar lalu segera menendang Harif dengan kaki. Harif mengaduh, "Hei, Rif. Harusnya kamu malu dong, masa berkelahi dengan anak perempuan. Sudah kalah lagi." sindir Raixa. "Diam kamu!! Berisik! Nggak pernah diam!" bentak Harif kasar. Fariza yang marah melihat Harif membentak-bentak sahabatnya langsung balas membentak, "Kamu yang berisik!!" balasnya. Raixa frustasi. "Sok pandai bahasa english!! Aslinya kamu itu nggak bisa, kan?! Mau kuliah di Amerika? MIMPI!!" balas Harif dia menuding Fariza. Fariza membalas "Daripada kamu!! Sok pintar, sok gaya, sok keren, sok...SOK SEMUANYA LAH!".

Tiba-tiba saat Harif hendak membalas perkataan Fariza, datang dua orang yang di kenal oleh Fariza dan Harif, Fariza sama sekali tidak memedulikan kedatangan orang itu. Harif sama saja, malah langsung membentak Fariza lagi. Akhirnya kedua orang yang datang itu melerai mereka. Salah satu dari mereka menahan Harif, sedang yang satu lagi, yang perempuan, langsung menenangkan Fariza yang terpancing emosi. Raixa ikut membantu menenangkan Fariza. "Oh iya, Riza mau ikut lomba?" tanya perempuan yang melerai Fariza, namanya Kak Zarlia. Ucapan itu membuat Fariza terdiam, wajahnya terlihat girang, "Mau, kak! Lomba apa?!" Fariza antusias.

"Lomba Tennis. Kau mau ikut, Riza?" tanya Kak Zarlia. Fariza terdiam...Dia masih cemen sekali bermain tennis. Tapi, Fariza refleks mengangguk. "Oke, nanti kakak daftarin, ya!" Kak Zarlia menoleh ke arah Harif yang masih emosi. Sedang saudara kembarnya, orang yang menahan Harif, berusaha menenangkan. "Sudah sore, kamu nggak di jemput, Aixa...Riza? Mau kakak jemput? Sekalian kita beli jajan." tawar Kak Zarlia.

"Aku di jemput sama Ibu saya, Kak. Jadi aku nggak ikut kakak ya! Si Fariza saja." ucap Raixa. "Okay, deh. Aku nggak ada yang jemput, mama sama ayah lagi kerja pulang pukul delapan malam. Jadi aku ikut saja deh, Kak Lia." Fariza mengangguk-angguk.

"Mau beli apa, Za? Kakak traktir deh." ucap Kak Zarlia saat mereka sedang di dalam mobil. "Terserah," jawab Fariza kalem. "Kakak sebenarnya mau ke toko buku sama Kak Fazri. Jadi kita ke toko buku saja ya." kata Kak Zarlia. "Oke, Kak.".

"Kak Fazri, kakak Lia mana? Bukunya udah nih, satu saja. Satunya lagi aku beli sendiri." Fariza melihatkan buku yang dia maksud. "Itu, lagi di sana." ucap Kak Fazri, kembaran Kak Zarlia. "Oh terima kasih." Fariza mengangguk.

"Kak Lia," panggil Fariza saat mereka sedang duduk-duduk di Kentucky Fried Chicken atau KFC, "Ya?" jawab Kak Zarlia, tanpa menoleh. Sibuk membaca buku. "Aku, kan, enggak pintar main tennis, Kak. Terus cara aku biar bisa pintar main tennis gimana?" Fariza bertanya. Kali ini Kak Zarlia menatap Fariza lalu tersenyum, "Kalau mau pintar main tennis, kamu harus belajar, kan enggak mungkin langsung pintar, harus belajar dulu. Jadi kamu belajar saja dulu. Fokus." jawab Kak Zarlia lembut. Fariza mengangguk mengerti, tapi dia bertanya lagi "Kalau aku kalah gimana, Kak? Padahal aku sudah belajar?" tanyanya. Kak Zarlia langsung menjawab, "Mungkin kamu masih ada yang salah belajarnya. Tapi, kalau kalah, kan nggak apa-apa. Gagal itu seharusnya malah berharga. Kamu bisa tahu apa yang salah." ucap Kak Zarlia. Fariza termenung. Benar juga.

"Jangan cepat menyerah, Za. Kalau kalah mah itu biasa. Nanti lima hari setelah lomba nanti ada turnamen tennis. Lomba tennisnya juga masih agak lama, dua bulan lagi." Kak Zarlia mengacak-ngacak rambut Fariza. "Nanti kakak ajarin deh belajar tennisnya! Setiap siang ya! Pas pulang sekolah." Kak Zarlia melanjutkan membaca buku. Fariza mulai memakan ayam KFCnya sambil sibuk memikirkan lomba tennis. "Aku boleh ikut turnamen, Kak?" tanyanya. "Bisa aja, tapi kamu harus menang lomba dulu," jawab Kak Zarlia, sambil memasang expresi lucu. 

Di rumah, Fariza menatap bola tennis yang barusan di belinya di mal. Dia kembali teringat kata-kata Kak Zarlia. "Kalau mau pintar main tennis, kamu harus belajar, kan enggak mungkin langsung pintar, harus belajar dulu. Jadi kamu belajar saja dulu. Fokus." batin Fariza dalam hati meniru kalimat Kak Zarlia. Dia mengembuskan napas, "Ayo, semangat Fariza!" bisik Fariza menyemangati diri sendiri. Tapi saat dia hendak berdiri, dia ragu kembali, "Belajar main tennis, kan, agak lama, aku pasti sudah terlambat." pikir Fariza. Tapi dia akhirnya tetap mau belajar main tennis ketika dia berhasil menenangkan diri. "Tidak ada yang namanya terlambat." pikir Fariza.

Kalimat Kak Zarlia masih terngiang-ngiang di telinga Fariza, dan itu yang membuat Fariza semangat. Setelah shalat maghrib dan sudah berdoa agar dia bisa menang lomba, dan lancar belajarnya, dia langsung ke halaman belakang yang lebar. Di halaman belakang itu ada tempat untuk bermain tennis. Fariza kesana untuk belajar bermain tennis. Dia menelepon sahabatnya, Raixa, untuk ke rumahnya.

Lima menit kemudian, Raixa datang. Fariza menyapa lalu mengajaknya untuk latihan bermain tennis. Raixa dengan senang hati langsung mengangguk. Mereka tertawa-tawa. Fariza tertawa geli melihat sahabatnya terpeleset saat mereka sedang bermain tennis di halaman belakang. Lalu giliran sahabatnya yang tertawa begitu melihat Fariza terjatuh di atas rumput. Baju mereka yang bewarna putih menjadi kotor. 

Akhirnya saat Raixa sudah mau pulang. Fariza langsung memasuki kamarnya. Kamar itu bagus sekali, bagi Fariza. Kamar itu ada tempat tidur tingkat, di bawahnya ada meja belajar Fariza, lalu di meja belajar itu ada laptop, dan di atas meja belajar itu ada papan. Papan itu di kelilingi oleh lampu bewarna hijau muda. Luas kamar itu luas. Banyak sekali rak-rak disana, dan apa isi rak itu? Tentu saja, buku. Fariza hobi sekali membaca buku. Fariza duduk di kursi belajarnya. Lalu mengambil satu buku di rak. Ternyata dia mengambil buku cara bermain tennis.

Dia membaca buku sampai tengah malam. Dia mencoba menahan kantuk dengan membaca buku cara bermain tennis. Sesekali dia berhenti membaca buku lalu mencoba bermain tennis di kamarnya. Mempraktikkan cara bermain tennis sesuai di buku yang di bacanya.

Dan keesokan harinya, di tempat les tennis. Fariza duduk-duduk di kantin, membaca buku cara bermain tennis ditemani dengan cemil-cemilan. Raixa datang menghampiri Fariza, lalu menepuk pundak temannya. "Riza, kau sekarang kok sibuk banget deh kelihatannya." komen Raixa. "Aixa, aku lagi belajar main tennis doang, biar bisa menang lomba dan ikut turnamen. Kamu mau baca buku ini juga? Biar pintar main tennis." Fariza menyengir. Raixa tanpa menolak langsung mengambil kursi lalu duduk di samping Fariza.

Tiba-tiba datang lagi si pembuat onar, Harif, "Eh, ada yang lagi pura-pura sibuk. Baca buku apa, tuh?" tanya Harif, Harif merampas buku yang dipegang Fariza lalu membaca judulnya. "Cara bermain tennis?! Kamu pengen pintar main tennis? Nggak mungkin!! Buang aja nih buku!". Fariza menahan Harif, "Bisa berhenti nggak? Ganggu mulu." ucap Fariza lalu segera menarik buku yang sedang dia baca dari tangan Harif. Raixa mencibir, "Huft...Daripada kamu, rumah kecil, sumpek, sempit. Malah sombong pula." cibirnya. Fariza dan Harif tercengang, Fariza menyikut lengan Raixa menyuruh diam, sedang mata Harif terlihat marah, dia tersinggung dengan perkataan Raixa. "Pst..Xa...Kalau marah jangan gitu juga." bisik Fariza.

Raixa seolah-olah tidak mendengar dia malah tetap melanjutkan, "Sudah rumah sempit, nggak punya pensil, bekalnya itu-itu sa...". Fariza menutup mulut sahabatnya dengan tangan. Harif menuding Raixa, "Awas, sekali lagi kamu bilang sesuatu, habis kau nanti!" ancamnya. Lalu dia berlari menerobos semak-semak lalu hilang. 

"Raixa!! Ucapanmu tadi terlalu kasar, tahu!!" bentak Fariza. Raixa baru sadar, dia langsung merasa bersalah, "Kau boleh pergi sekarang, Aixa. AKU lagi sibuk." ucap Fariza setengah mengusir. Raixa menurut. 

Saat les tennis selesai, Fariza masih duduk-duduk di kursi kayu. Matanya memelototi buku yang sedang di baca. Kemudian terdengar dering telepon dari HPnya. Dari Raixa yang sudah pulang sedari tadi. Fariza menghembuskan napas lalu mengangkatnya. "Halo, Aixa!" Fariza mencoba membuat suaranya terdengar riang. Tapi jawabannya? Sangat membuat Fariza terkejut, "Riz...Riza, seminggu lagi aku pindah ke Amerika." jawab Raixa di dalam telepon. "What?! Pindah ke Amerika?! Lombanya gimana?!" kaget Fariza. "Aku nggak ikut. Kau cari teman lain saja sana." ucap Raixa "AKU SUDAH INGIN PERGI JAUH-JAUH, AKU BOSAN LIHAT SI HARIF!" terdengar teriakan Raixa di dalam telepon. Lalu telepon mati. 

"Hai." sapa seseorang. Fariza menoleh, dan terlihat seorang anak perempuan yang sebaya dengannya. Sebelum Fariza menjawab, anak perempuan itu sudah bertanya lagi, "Namamu siapa?" tanyanya, "Fariza Syaifsa. Bisa dipanggil Fariza atau Ariza." ucap Fariza sopan. "Ooh, namaku Fazkia Narazi. Panggil saja Fazkia atau Zakia." ucap Fazkia. "Oh." Fariza mangut-mangut. "Riza, kau ikut lomba? Nanti kalau menang hadiahnya uang, loh! Bisa ikut turnamen tennis." ucap Fazkia lalu duduk di samping Fariza.

"Aku ikut." jawab Fariza singkat. "Kau mau kupinjamkan buku? Buku cara bermain tennis?" tanya Fazkia. "Oh, mau." Fariza masih memjawab dengan singkat. "Harif aneh...Tadi dia riang, sekarang? Murung." ucap Fazkia. Fariza kali ini menoleh, "Kamu kenal Harif? Dia temanmu?" tanya Fariza bertubi-tubi. Fazkia tertawa kecil, "Yaiyalah!". "Dia kok nakal ya? Suka gangguin orang mulu." komentar Fariza. Fazkia terdiam. "Dia itu memang nakal, tapi sebenarnya dia itu baik. Cuma caranya aja yang beda." jelas Fazkia.

Sejak Fariza bertemu dengan Fazkia. Fariza semakin sering menemui Fazkia lalu berdikusi. Kadang di ajaknya untuk latihan main tennis. Fariza ingat betul kata-kata Kak Zarlia, "Jangan pernah menyerah!!" setelah mengatakan begitu dia semangat lagi. 

Akhirnya, datanglah hari yang di tunggu-tunggu. Lomba Tennis. Fariza bertim dengan Fazkia. Sedang lawannya? Sama sekali tidak di duga-duga. Yaitu Harif dan Harzi. Fariza menelan ludah. Oi? Lawan Harif? Si master tennis itu?!. Tetapi, Fariza kembali tenang ketika dia kembali teringat kata-kata Kak Zarlia. "Mungkin kamu masih ada yang salah belajarnya. Tapi, kalau kalah, kan nggak apa-apa. Gagal itu seharusnya malah berharga. Kamu bisa tahu apa yang salah.".

Akhirnya permainan sudah dimulai. Sengit sekali. Awalnya Fariza dan Fazkia kewalahan, dan sebenarnya kaki Fariza terkilir. Tapi Fariza tetap mengabaikan itu. Akhirnya, saking sama hebatnya jumlah permainan sudah mencapai 5-5, seri. "Siap-siap, Fazkia." lirih Fariza. Akhirnya! Skor mereka sudah mencapai 7, sedang skor lawannya masih 5! 7-5! Pemenangnya adalah...FARIZA DAN FAZKIA.

Fariza langsung terduduk di tanah sambil mengurut-urut kakinya yang terkilir. "Riza? Kaki kamu biru! Ya ampun." Fazkia menaruh raketnya ke tanah. Lalu segera menghampiri Fariza. Tangan Fazkia menyentuh kaki Fariza yang terkilir, "ADOW! Sakit! Bisa nggak sih nyentuhnya hati-hati?!" erang Fariza. 

Akhirnya kaki Fariza sudah dibalut dengan perban. Fariza melihat Harif dan Harzi. Fazkia langsung menyapa, "Halo, Harif! Moodnya lagi baik, kan?" Fazkia menyeringai kocak. "Rif, tadi itu kamu agak lengah, Rif." ucap Fariza. "Nggak apa-apa kalau kalah. Kalau kalah malah bagus, kamu bisa tahu kesalahannya apa." nasehat Fariza. Fariza lalu menyikut lengan Fazkia, Fazkia menoleh. Fariza mendekatkan mulut ke telinga Fazkia. Fazkia mengangguk. Sedang Harif dan Harzi hanya melongo melihatnya. "JANGAN MENYERAH!!" tiba-tiba Fazkia dan Fariza berteriak lantang. Tapi ternyata bukan mereka saja yang berteriak, ada suara perempuan lain lagi yang di kenal Fariza, Kak Zarlia. Kak Zarlia menghampiri Fariza lalu mengelus-elus kepalanya. "Kamu berarti tahu kan maksud kakak? Pintar." puji Kak Zarlia. "Kamu bisa ikut turnamen nanti.".

Sedang Harif dan Harzi merenung, benar juga kata Fazkia dan Fariza. Jangan menyerah!. Nggak apa-apa kalau kalah. Kalau kalah malah bagus, kita bisa tahu kesalahannya apa. Lambat laun, Harif dan Harzi nyengir. "Okay, deh. Aku belajar lagi." ucap Harif semangat. "Gitu dong! Semangat! Kalau kamu murung nanti cuacanya jadi mendung, aku nggak mau kehujanan. Yuk, kita pulang, Kia. Nanti hujan, tuh lihat wajah Harzi masih murung. Nanti kita kena hujan. Permisi, Kak Zarlia." pamit Fariza lalu segera menarik-narik lengan Fazkia. Sedang Kak Zarlia tertawa, melihat expresi kocak Fariza.

Akhirnya hari yang sangat-sangat di tunggu-tunggu oleh Fariza dan Fazkia datang. Hari lomba turnamen datang! Dada mereka berdua berdebar keras. Harif dan Harzi berteriak "RIZA! RIZA! AZKIA! WOAAYOOOOOOK!". Fariza dan Fazkia melawan dua orang Jepang!. 

Permainan di mulai. Fariza kembali teringat kata-kata Kak Zarlia. "Nggak apa-apa kalau kalah. Aku bisa tahu apa yang salah." pikir Fariza. Setelah berpikir begitu, dia bermain tennis dengan tenang dan santai. Fazkia mengikuti.

Skor lawan melesat, menjadi 4 sedang Fazkia dan Fariza masih 2. Napas Fazkia tersengal-sengal. Saat Fariza melihat lawannya lengah, dia langsung mencari cara agar si lawan kalah. Dan benar! Skor mereka menjadi 3. Saat bola masih mengambang agak jauh. Fariza terpana. Langit menjadi gelap seperti sedang malam. Dan bola itu seperti bersinar-sinar. Fariza dengan cepat melompat lalu mengayunkan raket. Raket itu memukul bola tennis, segera bola itu melesat. Dan...Masuk ke gawang! GOAL.

Lagi-lagi skor mereka sama, 5-5. Dada Fariza dan Fazkia berdebar. Sedikit lagi! Saat Fariza menatap raketnya...Raket itu bersinar, berlistrik. Fazkia pun merasakan yang sama. Dengan cepat dia me-servis bola. Lalu segera memukul bola itu dengan raket. Bola itu melesat laju. Fariza seperti melihat api-api di sekitar bola tennis itu. Dua menit kemudian, bola itu masuk ke gawang musuh. Fariza berteriak kencang diikuti Fazkia, "YEEEEEEESS! YES!" teriak mereka. 

Fariza dan Fazkia mendapatkan medali emas. Kak Zarlia mengajak Harif dan Harzi ikut foto. Setelah Kak Zarlia mengatur posisi. Kak Zarlia mulai memencet tombol. Foto kenang-kenangan Fariza. Di dalam foto itu, Fariza dan Fazkia memegang piala, sedang di lehernya terlihat medali emas. Mereka tertawa bangga. Setelah itu, koran-koran penuh dengan foto Fariza dan Fazkia. The Master Tennis.

Fariza dan Fazkia datang ke rumah Harif yang kecil. Harif kebetulan sedang duduk di teras. Dia segera menyapa. "Ayo, ikut aku." ajak Fariza dia mendorong-dorong Harif, dibantu Fazkia. "Oi! SAKIIIT! JANGAN DORONG-DORONG." teriak Harif. "TARAAAA! Lihat! Rumah barumu! Besarkan? Perabotannya sudah kami susun." ucap Fariza dan Fazkia serempak. Harif tercengang. What?! Rumah ini untuknya? Yang benar saja!. "Tenang. Di dapurnya sudah kusediain langsung makanan mentah dan cemilan." Fazkia menepuk-nepuk pundak Harif. "Nanti kamu coba deh buka lemari yang ada di kamar yang ada tulisan 'HARIF' " ucap Fariza.

Setelah itu Harif dan kelima saudaranya tinggal disana bersama orang tua mereka. 

2 tahun kemudian, impian Fariza tercapai, kuliah di Amerika. Harif dan Harzi ikut. Dan tentu saja sahabatnya, Fazkia! Fariza ke sana sekalian bertemu dengan teman Fariza, Raixa. TAAAMAT!

Ya! Sampai sini saja. Aku ingin bertanya! Apa manfaat yang kalian dapat dari ceirta ini? Jangan menyerah atau jangan langsung putus asa. Kalau gagal nggak apa-apa itu malah bagus, kita bisa tahu apa kesalahan kita. Okay?. Yasudah, sampai sini dulu ya guys, kalau ceritanya ada yang salah maafin ya!. Dan semoga ceritanya bermanfaat. DAAAAH. SAMPAI JUMPA LAGI.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Do Not Slander